Melihat arti kehidupan tidak bisa hanya dilihat dengan bertolak pada apa yang kita miliki. Selain itu, harus mencoba berdiri di ujung kehidupan yang lain. Harus memperhatikan apakah segala yang kita lakukan itu benar-benar bermakna dan bernilai saat hidup di dunia.
Masih dalam suasana ziarah kubur, saya dan serombongan massa tiba di pinggiran kota. Menghadapi sehamparan tanah kuburan, tak tahan rasanya suasana batin ini terasa khidmat, bukit yang sambung menyambung merentang di kejauhan yang tak terbatas. Jalan yang menyusuri pegunungan, tampak satu demi satu batu nisan yang padat mengerumuni kaki langit. Kini tampak jelas sehamparan luas prasasti yang menggoncang jiwa.
Menghadapi batu nisan, saya tergoncang. Karena, belum pernah menyaksikan begitu banyak sukma yang berjejal di satu tempat, dan perjalanan hidup yang bagaimana yang pernah mereka jalani? Saya membaca satu demi satu ukiran prasasti, ada yang cukup lama menikmati hidupnya. Ada juga yang jelas begitu cepat menghadap-Nya.
Di depan sebuah nisan bak pualam putih, saya memandang terpaku cukup lama, mengapa senyum ceria yang polos seorang remaja lincah bisa berpelukan dengan malaikat kematian? Oh! benar-benar sebuah perjalanan hidup dan jiwa yang tidak menentu.
Saya membayangkan jiwa yang tak terhitung banyaknya dan telah menjadi tanah ini. Mereka mungkin adalah orang pernah hidup dalam keagungan, biasa, getir, dan gagah perwira. Namun meskipun demikian, semuanya adalah tamu dalam perjalanan yang lewat tergesa-gesa di dunia ini. Puluhan tahun waktu berlalu dengan cepat, akhirnya membeku menjadi sebuah tanah makam yang kecil di sini. Dan perjalanan hidup akhirnya sampai pada titik yang abadi di sini.
Di sini adalah ujung lain kehidupan. Sepanjang hidup manusia, tidak lebih hanya sesegmen garis yang tidak tergolong panjang. Saat hidup adalah titik tolak, dan saat meninggal adalah titik akhir perjalanan.
Ketika berada pada titik tolak perjalanan hidup, kita semua naif, tidak bisa memprediksikan nasib sepanjang hidup. Dan dalam segenap proses perjalanan, simpang jalan bercampur aduk, kita tetap sedikit buta.
Otak (pikiran) kita yang tidak begitu bijaksana, kerap tidak mengetahui secara jelas apa sebenarnya yang kita inginkan, hendak mencapai tujuan yang bagaimana, sehingga dengan demikian, mengikuti duniawi dan timbul tenggelam, segala urusan kehidupan manusia yang banyak dan rumit apa pun dapat mengaduk sebuah hati yang lemah.
Dan ketika kita sedang menyia-nyiakan kehidupan, tapi mengira individu sedang menikmati hidup, kita menganggap awan yang berlalu sebagai eksistensi yang abadi dan menggenggam erat tidak mau melepas. Lalu, kita berjalan menapak perjalanan hidup kita sendiri yang kabur. Mungkin hanya dengan tibanya pada titik perjalanan terakhir. Saat menjelang maut menjemput itu, di mana ketika kita mengenang kembali masa lalu, baru menyadarinya. Cukup banyak dalam perjalanan hidup di antara kita sebenarnya sangat tidak masuk akal, dan sesungguhnya kita sangat bodoh.
Kong Fuzi pernah berkata: “Tidak mengerti hidup, baru tahu mati?” Sudah barang tentu kata-katanya itu benar. Hanya mereka yang mengerti akan arti hidup, di mana saat meninggal dunia juga akan merasa damai. Jika kata-kata Kong Fuzi kita balikkan: “Tidak tahu mati, baru tahu akan kehidupan?” Ini juga kata-kata bijak yang sejati. Manusia, jika tidak bisa memahami kematian, maka dia juga tidak menghargai hidup. Seorang filsuf Perancis pernah mengatakan: “Sepanjang hidup manusia, adalah belajar bagaimana menghadapi kematian”. Agamawan dan para ahli filsafat justru memperhatikan kehidupan dengan berpijak pada titik akhir perjalanan hidup manusia, perhatian mereka pada kehidupan adalah suatu “curahan terakhir”.
Tampaknya, dalam melihat arti kehidupan, ada kalanya kita harus melihat juga dari sudut lain, tidak bisa secara realistis hanya bertolak pada apa yang kita miliki. Harus mencoba berdiri di ujung kehidupan yang lain, harus memperhatikan apakah segala yang kita lakukan itu benar-benar bermakna dan bernilai saat hidup di dunia.
Meskipun demikian, setiap menjelang ziarah kubur, di mana ketika kita menyembayangi (berdo’a) kepada kerabat/handai taulan atau roh sahabat yang sudah meninggal dunia, kita juga harus membersihkan debu yang menumpuk di dalam sukma kita, agar hati kita menjadi terang dan bersih. Dengan begitu, jiwa kita yang hidup baru benar-benar bisa paham dan mengerti.
Masih dalam suasana ziarah kubur, saya dan serombongan massa tiba di pinggiran kota. Menghadapi sehamparan tanah kuburan, tak tahan rasanya suasana batin ini terasa khidmat, bukit yang sambung menyambung merentang di kejauhan yang tak terbatas. Jalan yang menyusuri pegunungan, tampak satu demi satu batu nisan yang padat mengerumuni kaki langit. Kini tampak jelas sehamparan luas prasasti yang menggoncang jiwa.
Menghadapi batu nisan, saya tergoncang. Karena, belum pernah menyaksikan begitu banyak sukma yang berjejal di satu tempat, dan perjalanan hidup yang bagaimana yang pernah mereka jalani? Saya membaca satu demi satu ukiran prasasti, ada yang cukup lama menikmati hidupnya. Ada juga yang jelas begitu cepat menghadap-Nya.
Di depan sebuah nisan bak pualam putih, saya memandang terpaku cukup lama, mengapa senyum ceria yang polos seorang remaja lincah bisa berpelukan dengan malaikat kematian? Oh! benar-benar sebuah perjalanan hidup dan jiwa yang tidak menentu.
Saya membayangkan jiwa yang tak terhitung banyaknya dan telah menjadi tanah ini. Mereka mungkin adalah orang pernah hidup dalam keagungan, biasa, getir, dan gagah perwira. Namun meskipun demikian, semuanya adalah tamu dalam perjalanan yang lewat tergesa-gesa di dunia ini. Puluhan tahun waktu berlalu dengan cepat, akhirnya membeku menjadi sebuah tanah makam yang kecil di sini. Dan perjalanan hidup akhirnya sampai pada titik yang abadi di sini.
Di sini adalah ujung lain kehidupan. Sepanjang hidup manusia, tidak lebih hanya sesegmen garis yang tidak tergolong panjang. Saat hidup adalah titik tolak, dan saat meninggal adalah titik akhir perjalanan.
Ketika berada pada titik tolak perjalanan hidup, kita semua naif, tidak bisa memprediksikan nasib sepanjang hidup. Dan dalam segenap proses perjalanan, simpang jalan bercampur aduk, kita tetap sedikit buta.
Otak (pikiran) kita yang tidak begitu bijaksana, kerap tidak mengetahui secara jelas apa sebenarnya yang kita inginkan, hendak mencapai tujuan yang bagaimana, sehingga dengan demikian, mengikuti duniawi dan timbul tenggelam, segala urusan kehidupan manusia yang banyak dan rumit apa pun dapat mengaduk sebuah hati yang lemah.
Dan ketika kita sedang menyia-nyiakan kehidupan, tapi mengira individu sedang menikmati hidup, kita menganggap awan yang berlalu sebagai eksistensi yang abadi dan menggenggam erat tidak mau melepas. Lalu, kita berjalan menapak perjalanan hidup kita sendiri yang kabur. Mungkin hanya dengan tibanya pada titik perjalanan terakhir. Saat menjelang maut menjemput itu, di mana ketika kita mengenang kembali masa lalu, baru menyadarinya. Cukup banyak dalam perjalanan hidup di antara kita sebenarnya sangat tidak masuk akal, dan sesungguhnya kita sangat bodoh.
Kong Fuzi pernah berkata: “Tidak mengerti hidup, baru tahu mati?” Sudah barang tentu kata-katanya itu benar. Hanya mereka yang mengerti akan arti hidup, di mana saat meninggal dunia juga akan merasa damai. Jika kata-kata Kong Fuzi kita balikkan: “Tidak tahu mati, baru tahu akan kehidupan?” Ini juga kata-kata bijak yang sejati. Manusia, jika tidak bisa memahami kematian, maka dia juga tidak menghargai hidup. Seorang filsuf Perancis pernah mengatakan: “Sepanjang hidup manusia, adalah belajar bagaimana menghadapi kematian”. Agamawan dan para ahli filsafat justru memperhatikan kehidupan dengan berpijak pada titik akhir perjalanan hidup manusia, perhatian mereka pada kehidupan adalah suatu “curahan terakhir”.
Tampaknya, dalam melihat arti kehidupan, ada kalanya kita harus melihat juga dari sudut lain, tidak bisa secara realistis hanya bertolak pada apa yang kita miliki. Harus mencoba berdiri di ujung kehidupan yang lain, harus memperhatikan apakah segala yang kita lakukan itu benar-benar bermakna dan bernilai saat hidup di dunia.
Meskipun demikian, setiap menjelang ziarah kubur, di mana ketika kita menyembayangi (berdo’a) kepada kerabat/handai taulan atau roh sahabat yang sudah meninggal dunia, kita juga harus membersihkan debu yang menumpuk di dalam sukma kita, agar hati kita menjadi terang dan bersih. Dengan begitu, jiwa kita yang hidup baru benar-benar bisa paham dan mengerti.
0 komentar:
Posting Komentar
<<<<<<<<<<<<< JANGAN CUMA BACA DOANK DONK...!!! >>>>>>>>>>>>>
<<<<<<<<<< AYO KASI KOMENTAR DARI ARTIKEL DIATAS.... >>>>>>>>>>